Rabu, 29 April 2009

Reposting : Bentuk Ideal Penyelenggaraan Pasar Malam Sekaten

Jumpa Kembali Pembaca yang Budiman...
Bertemu lagi dalam postingan saya.
Kali ini bukan 100% hasil karya saya, karena di judulnya pun telah tertera dengan jelas bahwa ini adalah Re-Post dari sebuah Jurnal. Kemarin karena alasan iseng, saya jalan-jalan bersama Mbah Google, hingga menemukan suatu artikel yang dimuat di suatu milist. Tulisan ini adalah hasil karya dari Bp. M. Hudi Asrori S. ( apakah ini seratan, Paklik? Nyuwun ngapunten, kula posting wonten blog, hanya sekedar untuk mengabadikan.. :) )

Bentuk Ideal Penyelenggaraan Pasar Malam Sekaten
Oleh: M Hudi Asrori S

PERAYAAN Sekaten yang dimulai pada zaman Kerajaan Demak, merupakan hasil karya para wali untuk mensyiarkan agama Islam. Perayaan Sekaten ini memang hanya berada di Indonesia, khususnya Jawa, sehingga nuansa yang terasakan lebih bersifat Njawani daripada Islami. Melalui alunan Gendhing-gendhing Soran yang lembut dari dua perangkat Gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogo Wilogo, sangat berkesan di hati setiap pendengarnya. Nuansa seperti inilah yang diinginkan oleh para Wali untuk melakukan dakwah Islamiyah kepada masyarakat Jawa. Hal ini sangat efektif, karena menggunakan media seni tradisional rakyat, mengembangkan simbolisasi kehidupan religius rakyat, dan didukung oleh pengaruh kewibawaan raja.

Oleh karenanya keberadaan Sekaten dan perayaannya sangat melekat di hati rakyat, bahkan hingga saat ini. Namun, misi dan visi Sekaten itu pada perkembangannya sudah tidak diperhatikan lagi oleh penyelenggara yang dipercayakan kepada pemerintah daerah (kota). Sekarang ini, pada kenyataannya, perhatian pengunjung perayaan Sekaten bukan lagi ke alunan gending Sekaten dan dakwah Islamiyah, tetapi terkonsentrasi pada pasar malam yang berupa stand-stand perdagangan, permainan, yang hingar bingar dengan musik keras sebagai daya tariknya.

Mungkin masyarakat (baca: pengunjung pasar malam Sekaten) sekarang sudah tidak lagi mengenal Pagongan dan Gamelan, serta bunyi Sekaten itu sendiri. Apalagi nilai filosofi atau simbolik yang terkandung, blas, tidak mudheng lagi. Ironis memang, tetapi karena memang tidak difasilitasi secara profesional oleh panitia penyelenggara maka kondisi demikian akan terus berlangsung, bahkan lebih menyedihkan lagi bagi eksistensi Sekaten itu sendiri. Pada puncaknya, penyelenggaraan Sekaten tidak lagi berorientasi nilai religi dan tradisi, tetapi bisnis berpayung keanggunan Sekaten.

Peluang Bisnis

Tidak dapat dipungkiri, multy effects dari kegiatan pasar malam Sekaten sangat menguntungkan berbagai pihak, dan menjadi peluang bisnis yang efektif baik dalam bentuk pasar ataupun promosi. Dari kegiatan pasar malam, dapat kita hitung berapa jumlah tenaga kerja dapat tertampung, berapa produk barang ataupun jasa dapat dipasarkan. Pada posisi yang sangat menguntungkan ini, arena Pasar Malam Perayaan Sekaten membuka peluang sangat besar bagi kalangan pelaku bisnis, dengan (sebetulnya) tidak perlu menambah biaya promosi, karena telah terfasilitasi keanggunan nama Sekaten. Bandingkan dengan penyelengaraan perayaan pasar malam yang lain. Namun, tidak pantas kiranya penyelenggaraanya justru melakukan penekanan dan pemaksaan dengan mengesampingkan nilai dan nuansa Sekaten yang tradisional. Oleh karenanya perlu dilakukan penataan yang mengombinasikan antara kepentingan tradisional dan kepentingan modernitas.
Bagaimanapun kedua hal tersebut sangat perlu untuk dikembangkan bersama-sama secara harmonis. Pengabaian terhadap salah satu kepentingan di atas, justru, akan berakibat negatif terhadap peluang bisnis di Pasar Malam Perayaan Sekaten.

Pemanfaatan Lahan

Memperhatikan secara cermat penyelenggaraan Pasar Malam Perayaan Sekaten dua tahun terakhir, gaungnya kurang bergema. Pertama, pemanfaatan lahan di Alun-Alun Lor, dengan penutupan seluruh areal dan setting airdome, ternyata tidak efektif dan efisien, sehingga di dalam Alun-Alun Lor masih banyak lahan yang mubadzir.

Kedua, penutupan seluruh areal dengan pagar tinggi telah menghilangkan nuansa keanggunan Alun-Alun Lor, termasuk Masjid Gede, sebagai satu bagian dari keraton. Kesan yang muncul, bahwa penyelenggaraan pasar malam ini hanya mengedepankan kepentingan bisnis, tanpa menghiraukan lagi kepentingan tradisi. Padahal, harus disadari, semegah apapun penyelenggaraan suatu pasar malam di alun-alun lor, tentu akan lain keberhasilannya jika tidak diberi label Sekaten.

Ketiga, hasil wawancara (lisan dan tak terstruktur)dengan sementara pengunjung, menunjukkan dirasakan kurang nyaman, karena harus mengikuti jalur pameran yang panjang dan sangat melelahkan, terlebih bagi anak-anak yang segera ingin menikmati arena permainan.
Harga karcis masuk mahal, sehingga banyak pengunjung yang harus terpaksa tetapi lebih senang menikmati pasar malam di luar pagar. Memang dapat dihitung, satu keluarga ideal, berjumlah 4 orang (ayah, ibu dan 2 anak) yang hanya akan masuk arena pasar malam-airdome harus mengeluarkan biaya Rp 14.000. Belum biaya yang lain. Sebagai catatan, mungkinkah pengunjung Pasar Malam Sekaten tidak terjangkau oleh Perlindungan hak-haknya selaku konsumen. Dasar pertimbangan:
  1. bahwa Pasar Malam Sekaten merupakan hak publik yang dimiliki sejak dahulu kala,
  2. pemerintah kota, sebagai pelaku jasa layanan publik, dengan tidak sengaja telah melakukan pemaksaan terhadap hak-hak rakyat untuk menikmati tradisinya.

Selain itu, peserta pameran (barang dagangan) di airdome, tidak istimewa, artinya hanya beberapa (sebagian kecil) yang bernilai lebih, sedangkan sebagaian besar berkualitas sama dengan yang di luar arena tertutup. Keramaian pengunjung baru terasakan, pada minggu terakhir, yaitu saat perayaan Sekaten, dan untuk itu pengunjung tidak dibebani biaya masuk. Kami tambahkan di sini, bahwa untuk masuk airdome tetap harus membayar, dan ternyata banyak juga masyarakat yang masuk mengunjunginya. Bunyi gendhing-gendhing Sekaten dari Pagongan depan Masjid Agung, tetap tidak terdengar gaungnya, hilang ditelan hingar bingar Pasar Malam Sekaten.

Berdasarkan uraian tersebut, saya mempunyai pemikiran bahwa penyelenggaraan Pasar Malam Perayaan Sekaten harus ditata lebih cermat lagi yang dapat menampung berbagai kepentingan di dalamnya. Pertama, penyelenggaraan pasar malam Sekaten, seyogianya Alun-Alun Lor tidak ditutup rapat dengan pagar (tinggi) seperti akhir-akhir ini. Hal ini dimaksudkan agar nuansa Alun-Alun Lor sebagai salah satu bagian yang tak terpisahkan dengan Keraton serta Masjid Gede tetap terjaga dan dapat dinikmati oleh masyarakat. Yang lebih penting, tidak nyingkur Kraton dan tradisinya, serta tidak menghilangkan hak masyarakat, selaku konsumen jasa layanan publik, untuk menikmati tradisi leluhurnya.

Kedua, penataan peruntukan lahan. Untuk dapat menampung semua kepentingan, maka di dalam penyelenggaraan pasar malam Sekaten, seyogianya Alun-Alun Utara di bagi menjadi empat bagian kegiatan, yaitu:
  1. sisi sebelah Tenggara untuk areal pertunjukan, misalnya sircus, panggung terbuka, atau yang lain. Biasanya tiap tahun bergantian dengan jenis pertunjukan lain, seperti Lumba-Lumba, dll.
  2. sisi sebelah Barat Daya, untuk areal permainan anak-anak, misalnya ombak banyu, dll.
  3. sisi sebelah barat laut, untuk areal stand komoditas dagangan sektor informal, misalnya pakaian jadi, mainan anak-anak berkualitas standar. (4) sisi sebelah Timur Laut, untuk areal perdagangan-promosi (airdome). Seyogianya dalam airdome ini, hanya diperuntukkan bagi komoditas perdagangan berkualitas sangat baik, misalnya otomotif, elektronik, dll.

Ketiga, pembiayaan. Kepada para pengunjung dikenakan biaya masuk selama waktu pasar malam, seperti tiga tahun lalu dan sebelumnya, dengan tarif murah. Sedangkan pada saat Sekaten tidak perlu dipungut biaya masuk. Keberadaan airdome sama dengan stand-stand yang lain, artinya bagi pengunjung yang akan masuk airdome dikenakan biaya masuk. Hal ini dikarenakan, memang di dalamnya terdapat pameran perdagangan berkualitas lebih.

Keempat, faktor tradisi. Untuk memfasilitasi eksistensi Sekaten itu sendiri, pada saat 6 hari Sekaten, menara siaran pada jam-jam terentu (prime time: 19.00-20.00) menyiarkan secara langsung bunyi Gamelan Sekaten dari Pagongan Masjid Gede sehingga terdengar di seluruh arena Sekaten. Kalau perlu, dalam tata tertib ditentukan bahwa selama siaran langsung Gamelan Sekaten, stand-stand tidak diperbolehkan membunyikan sound system (agak sulit, memang). Peran Prajurit dan Abdi Dalem Keraton lengkap dengan pakaian dinas kebesarannya, perlu ditampilkan, untuk piket di tempat-tempat strategis (sebagaimana mestinya) dalam lingkup Kraton (Kompleks Pagelaran, Regol Masjid Gede, dan Pagongan Lor-Kidul). Daya dukung media audio visual sangat diperlukan. RRI dan Radio Swasta, khusus pada saat Sekaten, diwajibkan menyiarkan (rellay) siaran langsung Gendhing Sekaten, dan informasi kegiatan Sekaten. Pengamatan penulis, banyak sekali pengunjung yang kecelik waktu Mandhap Gongso dan Kundur Gongso beserta Grebegnya, yang sering tidak bersamaan dengan Kalender Masehi.

*) M Hudi Asrori S, Juara Pertama Lomba Penulisan Esai Sekaten, Kerja Sama Pusat Studi Pariwisata UGM dengan SKH Kedaulatan Rakyat.


Hemmm,,, jadi inget jaman kecil.. Dahulu, pada saat digelar Sekatenan ini, saya diajak Bapak dan Ibu untuk mengunjungi. Jujur, yang tertanam di benak waktu itu : Sekaten = Pasar Malam, karena di jaman saya kecil itu pun sudah banyak pedagang yang meramaikan sekaten ini. Pertunjukan yang digelar pada waktu itu hanya ada sirkus. Permainan anak-anak juga sudah banyak seperti komedi putar, ombak banyu, dremolem (gak tau gimana persis penulisannya), dsb. Sepintas, sambil jalan-jalan, Bapak menerangkan kalau sekaten ini awalnya adalah Sarana Syiar Islam. Sekaten berasal dari kata Syahadatain (2 kalimah Syahadah). Sempat pula saya dibawa ke Masjid Gedhe dan ditunjukkan gamelan-gamelan yang biasa dibunyikan di perayaan sekaten. namun pada waktu itu gamelan masih ditutup dengan lawon/kain mori karena belum waktunya untuk ditabuh.. Oh ya, alun-alaun Lor pada saat itu tidak dipagari keliling seperti sekarang.

Memang harusnya perayaan ini tidak mengubah/meninggalkan dari ruh sejarah asal muasal diadakannya sekatenan ini, meskipun jaman terus berjalan.. dan kita sebagai generasi muda, hendaknya tetap harus melestarikan budaya yang diwariskan turun temurun ini..

Duhh,,, jadi inget perahu othoq-othog, telur merah dan arum manis nie.... :)

Selasa, 28 April 2009

Arrgghhh....

Baru nyadar kalo postinganku selama ini gak penting semuaa...
maafkan ya, para pembaca,,, blog ini tidak berbobot sama sekali :(
benar kata Mr. falih bahwa blog ini hanya sekedar tempat curhat... :P
Buat adek-adeku, jangan ditiru ya,,, postinglah sesuatu yang bermutu untuk pembaca :)

maaf jika Anda termasuk orang yang tersasar di blog ini...
maaf, sekali lagi maaf....

Semoga di lain kesempatan bisa menulis sesuatu yang lebih bermutu :)

Kamis, 16 April 2009

Ugh.....

Setelah skian lama absen dari dunia per blog an,, tangan ni tetap aja malas menari di atas tuts... hingga moment pergantian tahun pun tak kuasa untuk diabadikan dalam blog. Padahal dalam beberapa bulan terakhir banyak hal yang telah terjadi,,, Mutasi, perpisahan, pernikahan, rolling seksi, pokoknya, banyaklah... sudah tiga kali juga saya pulang ke kampung halaman sejak tulisan saya terakhir terposting. Yah, waktu terus berjalan, Sobat... Kehidupan terus meniti di garis hidupnya.. Selamat Melanjutkan Hidup, Sobat...




Sekedar absen di blogspot ajah :P

PS : aku masih single loh... :)