Kereta Sancaka perlahan meninggalkan Stasiun Gubeng. Kuhempaskan tubuhku di salah satu kursi pada salah satu gerbong eksekutif. Kereta lumayan penuh. Mungkin karena hari itu adalah weekend. Sempat berjejal diantara penumpang untuk meraih pintu masuk gerbong. Sempat said 'excuse me' pada seorang foreign yang berpapasan di mulut gang antar gerbong karena aku salah masuk gerbong. Sempat minta bantuan seorang porter untuk mengangkut barang bawaan.. Dan aku pun akhirnya menghela nafas lega setelah sadar 100% bahwa aku telah duduk di kursi kereta setelah skian jam berkejaran dengan waktu.
Yah, siang itu aku baru saja menyelesaikan sebuah tes untuk mengukur kemampuan dalam berbahasa asing. Test setelah selama lebih kurang sepuluh hari aku dilatih untuk menggunakan bahasa dari negeri Prince William dalam menceritakan sesuatu. Sebuah kursus singkat yang dihadiahkan oleh intansiku setelah aku dinyatakan lolos seleksi. (instansiku, terimakasih atas kesempatan ini...)
Lepas tengah hari tes itu pun usai. Aku tahu, Sancaka masih bisa terkejar. Namun deret rencana yang telah aku susun sebelumnya, membuat aku merasa tidak yakin bahwa aku bisa pulang dengan kereta itu. Jurus nekat aku gunakan. Dari tempat test, kembali ke hotel, mengambil paketan barang kemudian melaju menuju tempat eskpedisi barang. Sempat senewen karena jalanan di Kota Pahlawan ini macet. Menurut sopir taksi yang aku tumpangi, malam nanti adalah puncak peringatan skian ratus tahun kota ini berdiri.. Hufh, sabar, sembari terus melirik ke arah jarum jam tangan pemberian salah seorang teman di Banteng. (trimakasih, Mba Dev..)
Hanya sekian menit di kantor ekspedisi, taksiku kembali melaju ke sebuah pusat penjualan barang elektronik. Tujuanku hanya satu, mencari eksternal driver sebagai tempat cadangan penyimpanan data mengingat spec. memory di komputer jinjingku terbatas.
Selesai dengan semuanya, bergegas aku menuju Gubeng, berharap masih mendapatkan Sancaka. Alhamdulillah, tiket itu masih tersedia dan waktu masih memungkinkan untuk sekedar mengambil barang di hotel (tidak lebih dari 30 menit sebelum jadwal pemberangkatan kereta). Sedikit berlari menyusuri jalan menuju hotel, berganti baju, mengambil barang dan meminta bantuan sopir taksi untuk mengantar ke stasiun, yang sebenarnya jaraknya hanya sejengkal dari hotel. Urusan check out aku serahkan pada teman sekamar..
Aku duduk di salah satu gerbong Sancaka. Sebelahku adalah seorang pria berusia skitar 30-an sedang bernegosiasi dengan orang yang duduk di kursi sederet. Sekelumit pembicaraan yang aku tangkap adalah : tukar tempat duduk.
Tidak terlalu memperhatikan dan terus menatap ke luar jendela, kereta melintas di belakang hotel yang dalam beberapa hari kemarin aku singgahi. Tampak seorang Janitor sedang membersihkan kaca jendela hotel. Earphone telah terpasang di kedua telingaku, ntah lagu apa yang sedang dimainkan, dan ditanganku sebuah novel terbuka, siap untuk dibaca, menemani skian jam perjalanan menuju kota tercinta.
Akhirnya orang di sebelahku berpindah. Negosiasi ternyata berhasil. Now, seorang pria muda, masih berumur sekitar 30-an dengan tas ransel duduk disebelahku. Perhatianku tertuju pada novel yang dia bawa. Warna sampul novel adalah kolaborasi antara wana hitam, putih dan pink keunguan, dengan font judul dan background gambar yang sangat familiar banget dimataku, langsung mengingatkanku pada cerita dari Negeri Belitong. Ugh,, ternyata kami pernah membaca novel yang sama..
Gaya cuek sebagaimana aku biasa bersikap di dalam semua moda yang membawaku pada setiap perjalanan akhirnya luluh ketika Bapak itu mulai menyapa. (masih terlalu muda untuk dipanggil bapak). Percakapan klise di dalam moda seperti dari mana mau kemana pun terucap. Sepatah, dua patah kata mengalir, ntah mengapa aku merasa nyaman dan nyambung ngobrol dengannya. Sesuatu yang jarang terjadi dalam sekian kali aku menempuh perjalanan. Biasanya aku lebih memilih sibuk dengan novelku atau hanyut bersama alunan untaian nada dari perangkat playerku.
Salah satu bagian percakapan yang aku ingat adalah ketika Bliau menanyakan : "masih ada lagi kejutan buat saya?!" setelah sebelumnya Bliau mendengarkan pemaparan sepotong-sepotongku, bahwa aku di Kota Rujak Cingur ini dalam rangka kursus, menuju Kota Geplak untuk pulang kampung, sementara aku bertugas nun jauh di Kota Milu dan dahulu menempuh bangku kuliah di Kota Metropolitan.
Hemm, ternyata beliau adalah seorang dokter bedah, sedang mengambil spesialis bedah syaraf di rumah sakit pemerintah terbesar di ibu kota Provinsi Jawa Timur. Entah apa yang mendorongnya untuk mengajakku bercakap-cakap dengan Bahasa dari negeri asal Ratu Elizabeth, padahal dari tampang dan perawakan, aku bukanlah seorang indo. Akhirnya aku pun bercerita atas test yang baru saja aku tempuh dan sdikit mendiskusikan tentang permasalahan yang di hadapi oleh sebahagian anak negeri ini dengan bahasa asing dan bagaimana cara membudayakan penggunaan bahasa asing di negeri sendiri. Sedikit Bliau menyitir tips belajar bahasa asing ala Lintang, seorang tokoh dalam novel yang Beliau bawa.
Topik pun beralih ke seputar pekerjaan, salah satu hal yang biasa membuatku dilema antara menjawab secara rinci atau general dalam percakapan dengan orang disebelahku pada setiap perjalanan. Tapi aku pun akhirnya mengaku setelah sebelumnya beliau menebak aku bekerja pada departemen yang sama dengan beliau.. (apa tampangku mirip suster ngesot ya)
Selanjutnya, aku lebih banyak diam, tidur, bercerita lagi, membahas film, buku, hingga sampailah perjalanan di Stasiun Balapan. Pak Dokter turun di stasiun ini untuk mengunjungi keluarganya. Sementara perjalananku masih satu jam lagi menuju stasiun terakhir dari route perjalanan kereta ini..
Sebentar kemudian telepon bimbitku bergetar. Sms masuk dari Bapak: "Nduk, Bapak wes neng Tugu.." Oh,,,, serasa sudah sampai di rumah...
(Buat pak dokter, maaf pertemuan singkat dengan Anda saya tulis dalam blog ini, sekedar mengingat atas perbincangan di dalam perjalanan itu,,)
Yah, siang itu aku baru saja menyelesaikan sebuah tes untuk mengukur kemampuan dalam berbahasa asing. Test setelah selama lebih kurang sepuluh hari aku dilatih untuk menggunakan bahasa dari negeri Prince William dalam menceritakan sesuatu. Sebuah kursus singkat yang dihadiahkan oleh intansiku setelah aku dinyatakan lolos seleksi. (instansiku, terimakasih atas kesempatan ini...)
Lepas tengah hari tes itu pun usai. Aku tahu, Sancaka masih bisa terkejar. Namun deret rencana yang telah aku susun sebelumnya, membuat aku merasa tidak yakin bahwa aku bisa pulang dengan kereta itu. Jurus nekat aku gunakan. Dari tempat test, kembali ke hotel, mengambil paketan barang kemudian melaju menuju tempat eskpedisi barang. Sempat senewen karena jalanan di Kota Pahlawan ini macet. Menurut sopir taksi yang aku tumpangi, malam nanti adalah puncak peringatan skian ratus tahun kota ini berdiri.. Hufh, sabar, sembari terus melirik ke arah jarum jam tangan pemberian salah seorang teman di Banteng. (trimakasih, Mba Dev..)
Hanya sekian menit di kantor ekspedisi, taksiku kembali melaju ke sebuah pusat penjualan barang elektronik. Tujuanku hanya satu, mencari eksternal driver sebagai tempat cadangan penyimpanan data mengingat spec. memory di komputer jinjingku terbatas.
Selesai dengan semuanya, bergegas aku menuju Gubeng, berharap masih mendapatkan Sancaka. Alhamdulillah, tiket itu masih tersedia dan waktu masih memungkinkan untuk sekedar mengambil barang di hotel (tidak lebih dari 30 menit sebelum jadwal pemberangkatan kereta). Sedikit berlari menyusuri jalan menuju hotel, berganti baju, mengambil barang dan meminta bantuan sopir taksi untuk mengantar ke stasiun, yang sebenarnya jaraknya hanya sejengkal dari hotel. Urusan check out aku serahkan pada teman sekamar..
Aku duduk di salah satu gerbong Sancaka. Sebelahku adalah seorang pria berusia skitar 30-an sedang bernegosiasi dengan orang yang duduk di kursi sederet. Sekelumit pembicaraan yang aku tangkap adalah : tukar tempat duduk.
Tidak terlalu memperhatikan dan terus menatap ke luar jendela, kereta melintas di belakang hotel yang dalam beberapa hari kemarin aku singgahi. Tampak seorang Janitor sedang membersihkan kaca jendela hotel. Earphone telah terpasang di kedua telingaku, ntah lagu apa yang sedang dimainkan, dan ditanganku sebuah novel terbuka, siap untuk dibaca, menemani skian jam perjalanan menuju kota tercinta.
Akhirnya orang di sebelahku berpindah. Negosiasi ternyata berhasil. Now, seorang pria muda, masih berumur sekitar 30-an dengan tas ransel duduk disebelahku. Perhatianku tertuju pada novel yang dia bawa. Warna sampul novel adalah kolaborasi antara wana hitam, putih dan pink keunguan, dengan font judul dan background gambar yang sangat familiar banget dimataku, langsung mengingatkanku pada cerita dari Negeri Belitong. Ugh,, ternyata kami pernah membaca novel yang sama..
Gaya cuek sebagaimana aku biasa bersikap di dalam semua moda yang membawaku pada setiap perjalanan akhirnya luluh ketika Bapak itu mulai menyapa. (masih terlalu muda untuk dipanggil bapak). Percakapan klise di dalam moda seperti dari mana mau kemana pun terucap. Sepatah, dua patah kata mengalir, ntah mengapa aku merasa nyaman dan nyambung ngobrol dengannya. Sesuatu yang jarang terjadi dalam sekian kali aku menempuh perjalanan. Biasanya aku lebih memilih sibuk dengan novelku atau hanyut bersama alunan untaian nada dari perangkat playerku.
Salah satu bagian percakapan yang aku ingat adalah ketika Bliau menanyakan : "masih ada lagi kejutan buat saya?!" setelah sebelumnya Bliau mendengarkan pemaparan sepotong-sepotongku, bahwa aku di Kota Rujak Cingur ini dalam rangka kursus, menuju Kota Geplak untuk pulang kampung, sementara aku bertugas nun jauh di Kota Milu dan dahulu menempuh bangku kuliah di Kota Metropolitan.
Hemm, ternyata beliau adalah seorang dokter bedah, sedang mengambil spesialis bedah syaraf di rumah sakit pemerintah terbesar di ibu kota Provinsi Jawa Timur. Entah apa yang mendorongnya untuk mengajakku bercakap-cakap dengan Bahasa dari negeri asal Ratu Elizabeth, padahal dari tampang dan perawakan, aku bukanlah seorang indo. Akhirnya aku pun bercerita atas test yang baru saja aku tempuh dan sdikit mendiskusikan tentang permasalahan yang di hadapi oleh sebahagian anak negeri ini dengan bahasa asing dan bagaimana cara membudayakan penggunaan bahasa asing di negeri sendiri. Sedikit Bliau menyitir tips belajar bahasa asing ala Lintang, seorang tokoh dalam novel yang Beliau bawa.
Topik pun beralih ke seputar pekerjaan, salah satu hal yang biasa membuatku dilema antara menjawab secara rinci atau general dalam percakapan dengan orang disebelahku pada setiap perjalanan. Tapi aku pun akhirnya mengaku setelah sebelumnya beliau menebak aku bekerja pada departemen yang sama dengan beliau.. (apa tampangku mirip suster ngesot ya)
Selanjutnya, aku lebih banyak diam, tidur, bercerita lagi, membahas film, buku, hingga sampailah perjalanan di Stasiun Balapan. Pak Dokter turun di stasiun ini untuk mengunjungi keluarganya. Sementara perjalananku masih satu jam lagi menuju stasiun terakhir dari route perjalanan kereta ini..
Sebentar kemudian telepon bimbitku bergetar. Sms masuk dari Bapak: "Nduk, Bapak wes neng Tugu.." Oh,,,, serasa sudah sampai di rumah...
(Buat pak dokter, maaf pertemuan singkat dengan Anda saya tulis dalam blog ini, sekedar mengingat atas perbincangan di dalam perjalanan itu,,)
2 komentar:
Kayaknya jalan-jalan mulu deh Mbak...
hehe, ya bgitulah leil,, dapet kesempatan jalan2 dimanfaatkan sebaik mgkin :)
Posting Komentar